Apakah Indonesia Siap Mengadopsi Teknologi Jet Tempur F-35?

Jet tempur F35. ((AP Photo/Kamran Jebreili)
Foto: Jet tempur F-35. (AP Photo/Kamran Jebreili)

Kini adalah masa di mana pesawat tempur generasi keempat dan generasi 4.5 telah memasuki masa senja dan digantikan oleh penempur generasi kelima. Suatu jet tempur dapat digolongkan sebagai generasi kelima bukan sekadar dari tampilan luar seperti desain dan bentuk yang low observable terhadap pancaran gelombang radar.

Terdapat pesawat tempur yang diklaim oleh pembuatnya sebagai generasi kelima, namun pada bagian depan pesawat menggunakan canard yang justru meningkatkan radar cross section. Ada pula jet tempur yang diiklankan sebagai generasi kelima oleh pabrikan, akan tetapi mengadopsi sistem pembangkit (power plant) yang tidak bisa supercruise.

Dewasa ini hanya ada dua jet tempur yang sudah terbukti sebagai generasi kelima, yakni F-22 dan F-35. Terdapat tujuh parameter pesawat tempur generasi kelima, yaitu mengadopsi radar AESA, kebisaan untuk supercruise, tempat penyimpanan senjata di dalam fuselage pesawat, fitur stealth secara penuh, fusi sensor secara penuh, kelincahan bermanuver yang ekstrem dan penggunaan material komposit.

Merancang, mengembangkan dan memproduksi pesawat tempur generasi kelima penuh dengan tantangan karena harus memadukan ilmu aeronautika, elektronika maju, komputasi, metalurgi, propulsi, manajemen termal dan lain sebagainya.

F-35 merupakan satu-satunya jet tempur generasi kelima yang proses desain, pengembangan dan produksi melibatkan banyak negara selain Amerika Serikat. Terdapat sembilan negara yang mendanai program F-35 walaupun pada akhirnya Turki ditendang keluar karena membeli sistem pertahanan udara S-400 dari Rusia.

Pesawat tempur yang mengadopsi sistem pembangkit Pratt & Whitney F135 itu juga satu-satunya penempur generasi kelima yang dapat diekspor ke negara lain dengan syarat dan ketentuan yang lebih ketat dibandingkan ekspor penempur generasi 4.5. 17 negara di luar Amerika Serikat sudah mengoperasikan atau tengah memesan pesawat tempur yang mempunyai tiga varian tersebut, termasuk Australia, Singapura, Jepang dan Korea Selatan di kawasan Asia Pasifik.

Dari aspek teknologi, F-35 mengadopsi perangkat lunak lima kali lebih banyak dari pesawat tempur generasi sebelumnya. Terdapat 2.5 juta baris kode program untuk mengendalikan sistem dan control surface pesawat, seperti aileron, elevator, rudder, flaps, flaperons dan lainnya.

Dibutuhkan hampir 1 juta baris kode program untuk engine Pratt &Whitney F135 dan 6.5 juta baris kode guna mengendalikan sensor dan mengintegrasikan data sehingga tercipta gambaran battlespace yang dihadapi oleh penerbang F-35. Secara total, terdapat hampir 10 juta baris kode program yang disebut airborne system agar pesawat tempur itu dapat terbang dan melaksanakan misi.

Airborne system F-35 terbagi dalam dua kategori, pertama ialah vehicle control yang mengendalikan karakteristik terbang semacam flight controlengine, manajemen bahan bakar, sistem kelistrikan dan subsistem mechanical. Kedua adalah mission systems yang mengendalikan navigasi, komunikasi, identifikasi dan muatan perang seperti radar, senjata, distributed aperture system, sistem defensif dan manajemen sensor.

Semua perangkat lunak di dalam fuselage F-35 di seluruh dunia saling terhubung melalui sistem perangkat lunak yang tidak terpasang di pesawat (offboard) untuk mengetahui dan membagikan pengetahuan tentang kondisi setiap unit F-35 kepada pengguna maupun pemelihara pesawat.

Perangkat lunak F-35 melakukan transmisi data operasional ke sistem komputasi awan di Amerika Serikat lewat Operational Data Integrated Network (ODIN), selain fungsi ODIN sebagai sarana bagi para software engineers untuk melakukan pemutakhiran perangkat lunak pesawat itu secara berkala.

Perangkat lunak adalah tumpuan F-35 agar dapat unggul dalam hal kelincahan, situational awareness dan peperangan elektronika. Salah satu tantangan dalam perancangan, pengembangan dan produksi jet tempur generasi kelima adalah berlomba dengan Hukum Moore, di mana salah satu diktum adalah daya teknologi digital meningkat dua kali lipat setiap dua tahun yang membuat teknologi sebelumnya usang.

Hukum Moore terkait dengan jumlah transistor pada integrated circuit yang menjadi otak perangkat lunak. Tantangannya adalah proses perancangan dan pengembangan pesawat tempur memerlukan waktu setidaknya 15-20 tahun sejak program dimulai hingga pesawat mencapai status matang.

Mengulas tentang perangkat lunak yang menjadi tumpuan F-35 sesungguhnya hanya satu aspek dari sejumlah aspek terkait teknologi tinggi yang diadopsi dalam desain, pengembangan dan produksi pesawat tempur itu. Aspek lainnya adalah struktur (seperti pemakaian material komposit), sistem pembangkit dan hal-hal lain semacam penggunaan coating dan sealant yang terkait dengan stealth.

Selain aspek-aspek tersebut, terdapat pula aspek kerjasama industri di mana delapan negara selain Amerika Serikat yang terlibat program F-35 mendapatkan keuntungan ekonomi melalui peran sebagai global supply chain. Kegiatan produksi yang dilaksanakan oleh para pemasok komponen F-35 melibatkan hal-hal seperti precision engineeringmanufacturing roboticsadvance carbon composite manufacturingadvance metal machining capability dan sebagainya.

Pelajaran apa yang dapat ditarik oleh Indonesia terkait teknologi yang digunakan oleh F-35, khususnya perangkat lunak. Pertama, tidak ada kerahasiaan menyangkut kesiapan setiap unit pesawat. Jet tempur generasi kelima adalah mesin perang yang selalu terkoneksi dengan negara produsen, di mana negara produsen dapat mengetahui kondisi setiap unit pesawat yang dioperasikan oleh negara-negara pembeli.

Kondisi yang dimaksud mencakup kondisi teknis pesawat, sehingga apabila terdapat masalah pada beragam subsistem F-35 dapat segera diketahui oleh pemerintah Amerika Serikat maupun Lockheed Martin selaku pembuat pesawat.

Kedua, tidak ada kerahasiaan operasi. Setiap penggunaan F-35 diketahui oleh Amerika Serikat lewat perangkat lunak yang selalu terhubungkan dengan sistem komputasi awan di Amerika Serikat.

Di samping itu, untuk menerbangkan F-35 memerlukan dua langkah otentifikasi, yaitu kode otentifikasi unik yang dimasukkan oleh penerbang ke dalam komputer pesawat dan kode personal penerbang sebelum dapat menghidupkan engine dan subsistem lainnya. Hal itu jelas berbeda dengan jet tempur generasi pendahulu yang tidak membutuhkan kode otentifikasi guna mengoperasikan pesawat.

Apakah Indonesia siap mengoperasikan jet tempur seperti F-35 di mana tidak ada rahasia terkait kesiapan teknis pesawat maupun operasi penerbangan? Jet tempur generasi kelima sejak awal didesain untuk saling terhubung dengan negara pembuat maupun sesama negara operator, sehingga tidak ruang bagi pengguna untuk merahasiakan kesiapan teknis pesawat maupun operasi yang dilakukan.

Perubahan budaya dari setengah tertutup menjadi sepenuhnya terbuka terkait kedua hal tersebut adalah tantangan bagi semua operator F-35. Kemajuan teknologi tidak dapat dibendung, namun masih menjadi pertanyaan tentang kesiapan Indonesia dalam mengoperasikan pesawat tempur generasi kelima pada dekade mendatang di saat jet tempur generasi keempat dan generasi 4.5 sudah memasuki masa senja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*