Chiva, sebuah kota kecil di pinggiran Valencia, Spanyol, mengalami badai dahsyat yang mengakibatkan banjir besar dan arus air berlumpur yang merusak rumah-rumah dan kendaraan serta menelan banyak korban jiwa.
Padahal sebelumnya, wilayah tersebut mengalami kekeringan yang parah. Namun pada Selasa (29/10), kota kecil itu mendadak diguyur hujan lebat hanya dalam hitungan jam.
Menurut para ilmuwan, “kiamat” perubahan iklim yang dipicu oleh aktivitas manusia makin meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem.
Ilmuwan menyebut, polusi bahan bakar fosil berperan dalam merusak siklus air, membuat orang dan tanaman kering. Tapi udara panas juga dapat menahan lebih banyak uap air sehingga meningkatkan potensi hujan lebat yang dahsyat.
“Kekeringan dan banjir adalah dua sisi dari koin perubahan iklim yang sama,” kata Stefano Materia, seorang ilmuwan iklim Italia di Barcelona Supercomputing Center, dikutip dari The Guardian, Jumat (1/11/2024).
Ia mengatakan penelitian telah menghubungkan kekeringan di Mediterania dengan darurat iklim melalui perubahan sirkulasi atmosfer pada saat yang sama ketika kenaikan suhu global telah memanaskan kawasan tersebut.
“Itu berarti lebih banyak energi, lebih banyak uap air, lebih banyak ketidakstabilan – semua bahan yang memicu badai yang mengerikan saat kondisi atmosfer mendukung,” jelas Stefano
“Laut Mediterania adalah bom waktu saat ini.” imbuh dia.
Para ilmuwan mengatakan bahwa cuaca buruk yang melanda Spanyol dan negara-negara tetangganya merupakan pertanda dari peristiwa yang akan segera terjadi di seluruh Eropa.
Sebuah survei dari Eurobarometer pada bulan Mei menemukan bahwa 61% orang Spanyol “sangat setuju” bahwa masalah lingkungan memiliki dampak langsung pada kehidupan sehari-hari mereka.
Para ahli iklim mengatakan banjir seharusnya menjadi pengingat untuk mengurangi polusi yang memanaskan planet dan meningkatkan sistem peringatan dini dan respons cepat terhadap bencana.
Hujan deras itu terjadi sebulan setelah banjir mematikan melanda Eropa Tengah, Afrika Barat, dan Asia Tenggara, dan dua minggu sebelum para diplomat bertemu untuk KTT iklim PBB Cop29 di Azerbaijan.
“Konsekuensi tragis dari peristiwa ini menunjukkan bahwa kita masih harus menempuh jalan panjang,” kata Liz Stephens, seorang ilmuwan risiko iklim di University of Reading.
“Orang-orang seharusnya tidak meninggal karena peristiwa cuaca yang diramalkan seperti ini di negara-negara yang memiliki sumber daya untuk berbuat lebih baik.” jelasnya.