
Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) menyebut industri ritel dan pusat perbelanjaan di Indonesia dihadapkan berbagai tantangan. Terutama adalah fungsi tempat perbelanjaan yang mengalami perubahan.
Ketua Umum APPBI Alphonzus Widjaja, menyebut sebelumnya tempat perbelanjaan berfungsi sebatas pusat perbelanjaan. Sementara itu, fungsi pusat perbelanjaan sebagai tempat berbelanja sudah tergantikan dengan layanan belanja online.
“Fungsi pusat belanja itu kan sebelumnya hanya tempat berbelanja. Tetapi sekarang tidak lagi berfungsi sebagai tempat belanja. Kalau berfungsi sebagai tempat belanja, sekarang itu bersaing dengan online,” jelas Alphonzus usai Musyawarah Nasional (Munas) 2025 APPBI.
Tantangan lainnya adalah kondisi ekonomi yang tidak menentu, seperti melemahnya daya beli masyarakat hingga efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah. Bahkan menurut Alphonzus, pelemahan daya beli masyarakat masih belum dapat teratasi.
Diketahui daya beli masyarakat mengalami penurunan pada kuartal II-2024. Di mana pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya menyentuh 4,91% atau lebih rendah dari kuartal II-2023 yang sebesar 5,22%.
Adapun daya beli masyarakat melemah seiring dengan menurunnya kinerja industri manufaktur sehingga PMI Manufaktur masuk ke zona kontraksi. Selain itu, terjadi banyak PHK akibat melemahnya permintaan sehingga produksi tertahan dan ekspor menurun.
Melemahnya daya beli masyarakat ini menyebabkan deflasi atau penurunan harga lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi pada September secara bulanan menyentuh level 0,12% atau naik dari bulan sebelumnya yang sebesar 0,03%.
“Ditambah lagi pemerintah memutuskan untuk melakukan pemangkasan anggaran. Ini akan berdampak terhadap pusat perbelanjaan. Memang tidak secara langsung, tetapi pasti akan terdampak,” tegas Alphonzus.
Efisiensi dalam bidang anggaran negara menjadi salah satu kebijakan yang tertuang pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Efisiensi anggaran ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan keuangan negara.
Namun, kebijakan ini menuai kritik karena dianggap kontradiktif dan berpotensi berdampak negatif bagi pelayanan publik.
Adapun dengan berbagai tantangan tersebut, Alphonzus menegaskan bahwa pertumbuhan kinerja pusat perbelanjaan tidak akan signifikan.
“Jadi, prediksi kami industri ritel atau pusat perbelanjaan akan tetap tumbuh tetapi tidak signifikan. Dalam arti pertumbuhan masih single digit, di bawah 10%. Saya rasa itu yang akan terjadi. Tetap bertumbuh tetapi tidak akan signifikan,” pungkas dia.