Prabowo Subianto akan dilantik sebagai Presiden Indonesia 2024-2029 pada 20 Oktober 2024 besok, bersama dengan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden Indonesia 2024-2029.
Sebelumnya, beberapa lembaga think tank asing, baik dari Inggris maupun Amerika Serikat (AS) telah meramalkan masa depan Indonesia di era Prabowo.
Salah satunya Chatham House, di mana Direktur Asia-Pasifik, Ben Bland, menyusun analisis berjudul “Continuity Prabowo means change for Indonesia”.
Dalam analisanya disebutkan Prabowo tidak akan memerintah sebagai ‘proksi’ Jokowi, meski menggunakan dukungan Presiden RI tersebut untuk memenangkan kekuasaan.
Bland menggarisbawahi pilihan pemimpin baru Indonesia tidak hanya penting bagi Tanah Air, tetapi juga kawasan Asia Tenggara. Sebab, Indonesia menjadi garis depan persaingan AS dan China.
Bland kemudian mengaitkan masalah itu dengan skala dan pertumbuhan pesat ekonomi Indonesia di antara negara G20. Termasuk status Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia.
“Jika Prabowo mulai menjabat pada bulan Oktober, ia kemungkinan akan memerintah dengan caranya sendiri dan bukan sebagai wakil Jokowi,” tegasnya.
“Realitas politik juga akan membatasi pengaruh Jokowi. Jabatan wakil presiden di Indonesia sama lemahnya dengan di AS, sehingga akan sulit bagi Gibran untuk menggunakan posisi tersebut dalam memberikan pengaruh,” ia menambahkan.
Bland berpendapat, Jokowi mungkin masih akan tetap mendapatkan dukungan publik yang tinggi setelah ia meninggalkan jabatannya (dengan tingkat dukungan sebesar 80%), namun hal tersebut tidak akan secara otomatis menghasilkan pengaruh politik.
“Faktanya, begitu Prabowo menguasai kekuasaan dan patronase yang signifikan di kursi kepresidenan, para pemimpin partai dan taipan politik yang mendukung Jokowi kemungkinan besar akan tertarik pada Prabowo,” ujarnya.
Sementara itu, media yang dibentuk oleh Profesor Universitas Harvard Samuel P. Huntington, yakni Foreign Policy (FP, membuat artikel berjudul ‘How Will Prabowo Lead Indonesia?’.
“Kebijakan ekonominya bersifat populis, seperti usulan untuk meningkatkan subsidi, khususnya program makanan sekolah, akan meningkatkan defisit fiskal Indonesia,” dikutip dari artikel FP yang dirilis awal tahun ini.
Disinggung juga bagaimana Prabowo di panggung internasional. FP menjelaskan bahwa Prabowo akan melanjutkan apa yang dilakukan oleh Jokowi seperti komitmennya untuk melanjutkan perlawanan terhadap undang-undang deforestasi Eropa.
“Orang-orang Eropalah yang memaksa kami menanam teh, kopi, karet, dan coklat. Dan sekarang Anda mengatakan kita sedang menghancurkan hutan kita? Anda menghancurkan hutan kami terlebih dahulu,” kutip media itu mengutip ucapan Prabowo dalam sebuah forum.
Dari segi pandangan geopolitik, FP memberi pandangan unik. Lembaga itu menganalisa bahwa Prabowo mungkin akan menganggap dirinya mirip dengan presiden kedua RI, Soeharto, membentuk jalur yang independen di tengah rivalitas antara beberapa negara besar.
“Meskipun Indonesia dan China termasuk di antara negara-negara yang mengklaim pulau-pulau yang disengketakan di Laut Cina Selatan, Prabowo telah mendekati Beijing karena investasi mereka yang perlu proses yang sedikit dibandingkan investor Eropa,” tegasnya lagi.
Hal serupa juga diulas oleh Brookings Institute. Dalam artikel berjudul ‘Reflection on Jokowi’s Legacy and Prabowo’s presidency’, ditekankan bagaimana Prabowo akan melanjutkan program Jokowi seperti hilirisasi mineral serta pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Prabowo akan mendapat tekanan melanjutkan program kunci Jokowi: Indonesia Emas 2025, sebuah program pencapaian industrialisasi seabad setelah Indonesia merdeka,” tulis lembaga itu.
Prabowo juga dinilai akan menegaskan posisi Indonesia yang seimbang di tengah persaingan global antara China dan Amerika Serikat (AS). Ia disebut seorang yang pragmatis sehingga ia akan terus menjaga hubungan dengan Beijing dan Washington.
Meski begitu, Brookings menduga akan ada hambatan dalam pemerintahan Prabowo yakni korupsi. Lembaga itu menekankan Prabowo memiliki pekerjaan besar dalam menanggulangi korupsi agar iklim investasi tetap berjalan baik.
“Lebih lanjut, masa depan yang baik adalah ketikan pemerintah dapat menjaga kepentingannya dan iklim investasi juga tetap berjalan baik,” tambah lembaga itu.