
Ada produk turunan tambang yang melingkari tanganmu dan dikenal sebagai jam tangan. Ada pula produk turunan tambang dalam genggamanmu yang dikenal sebagai ponsel.
Sementara itu, ada produk turunan tambang yang bertengger di hidung untuk membantumu melihat lebih jelas, dikenal sebagai kacamata.
Nyatanya, produk turunan tambang tak lepas dari aktivitas sehari-hari. Sejak membuka mata hingga menutupnya lagi, buah karya turunan dari aktivitas membelah perut bumi selalu menyertai.
Jalal, seorang Co-Founder A+ CSR Indonesia, mengatakan bahwa sesungguhnya, masyarakat hidup dalam paradoks.
Berbagai gebrakan transisi energi, seperti pembangkit listrik tenaga surya, pengembangan Battery Energy Storage System (BESS), hingga pembuatan kendaraan listrik, tak lepas dari penggunaan produk-produk hasil tambang, salah satunya adalah nikel.
Di sisi lain, praktik pertambangan acap kali menuai kecaman lantaran dampak lingkungan yang diakibatkannya. Pencemaran terhadap air pada kawasan yang berada di sekitar operasional tambang, gundulnya hutan akibat pepohonan yang dilibas, hingga emisi dari pembangkit listrik yang digunakan.
“Kita mustahil selamat dari krisis iklim tanpa pertambangan. Tapi di sisi lain, kontribusinya terhadap perubahan iklim dan terhadap hutan mendatangkan masalah,” kata Jalal dalam sebuah kelas jurnalis.
Menurut Jalal, citra dari sektor pertambangan dapat menjadi lebih baik apabila perusahaan mampu meningkatkan pengetahuan masyarakat soal kegiatan pertambangan yang sesuai dengan standar lingkungan, sosial, dan tata kelolanya (Environmental, Social, and Governance/ESG).
Penerapan ESG juga dapat mengurangi dampak negatif kegiatan pertambangan terhadap lingkungan di sekitar kawasan operasional perusahaan. ESG menjadi bantalan yang meredam kerasnya benturan antara sektor pertambangan dengan dampak lingkungan yang disebabkan oleh kehadirannya.
Nyatanya, yang saat ini lebih banyak menuai perhatian adalah dampak negatif dari kegiatan pertambangan, dan Indonesia tidaklah kebal dari batu sandungan tersebut.
Sejak menggalakkan program hilirisasi nikel, Indonesia menuai label produsen dirty nickel atau nikel kotor. Salah satu yang menuai sorotan dunia adalah Kawasan Industri Weda Bay Indonesia di Maluku Utara.
Label nikel kotor asal Indonesia ramai dikampanyekan di negara-negara barat. Padahal salah satu investor dari PT Weda Bay Nickel adalah perusahaan asal Prancis, Eramet Group.
Eramet Group memiliki saham sebesar 43 persen dalam perusahaan patungannya bersama Tsingshan Group yang memegang saham sebesar 57 persen.
Perusahaan patungan tersebut bernama Strand Minerals Pte Ltd, yang memegang 90 persen saham PT Weda Bay Nickel. Sementara 10 persen lainnya dipegang oleh PT Antam Tbk. Sejak 2019, Weda Bay Nickel (WBN) memasuki fase produksi dengan kapasitas tahunan 300 ribu ton nickel ferroalloy.