
Akademisi Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, Bali, Ketut Trika Adi Ana menilai keberadaan sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif saat ini bukan lagi sekadar pilihan, tetapi sebuah kebutuhan mendesak.
“Sekolah seharusnya menjadi tempat belajar bagi semua anak usia sekolah, terlepas dari keterbatasan fisik, intelektual, sosial, maupun emosional yang dimilikinya. Di Indonesia, hal ini selaras dengan amanat Undang-undang Dasar bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara,” kata Trika Adi Ana di Singaraja, Minggu.
Ia menilai wacana Kemendikdasmen untuk membuka peluang pelatihan bagi guru-guru untuk melaksanakan pendidikan inklusif, utamanya dalam melaksanakan pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus merupakan suatu langkah strategis yang patut untuk didukung.
Pelaksanaan pelatihan guru-guru untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang berkualitas menjadi hal utama yang harus dilakukan.
Hal tersebut dikarenakan pelaksanaan pendidikan inklusif memliki tingkat kompleksitas yang berbeda dengan pelaksanaan sekolah reguler yang hanya mendidik siswa mainstream.
“Dalam pelaksanaan pendidikan inklusif, guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan khusus untuk melaksanakan pembelajaran yang tepat bagi anak-anak berkebutuhan khusus,” kata dia.
Trika mengungkapkan, setidaknya terdapat lima pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki dalam melaksanakan kelas inklusif. Pertama, pengetahuan dan kemampuan dalam mendeteksi awal anak berkebutuhan khusus.
“Guru wajib memiliki pemahaman mengenai jenis-jenis kebutuhan khusus dan mampu melakukan screening awal untuk mengidentifikasi apakah seorang anak mengalami kebutuhan khusus tertentu. Secara spesifik, guru wajib mengetahui kelemahan dan sekaligus kekuatan yang dimiliki oleh anak-anak berkebutuhakn khusus,” paparnya.