
Tim pengabdian masyarakat Politeknik Negeri Lampung (Polinela) menemukan pemanfaatan maggot Black Soldier Fly (BSF) untuk pengelolaan feses ayam broiler sebagai bagian dari inovasi ekonomi sirkular dan mendukung pencapaian Net Zero Emission Nasional.
“Pengolahan feses ayam broiler melalui budi daya maggot BSF bukan hanya solusi teknis terhadap persoalan limbah, tetapi juga menjadi pintu masuk menuju sistem peternakan berkelanjutan,” ujar Ketua Pelaksana Tim, Melia Afnida Santi dalam pernyataan di Bandarlampung, Kamis.
Ia mengatakan ide ini muncul mengingat limbah peternakan, khususnya feses ayam broiler, masih menjadi permasalahan serius di berbagai sentra produksi unggas, karena berisiko mencemari tanah dan air, serta menyumbang emisi gas rumah kaca.
Oleh karena itu, tim pengabdian dari Program Studi Teknologi Pakan Ternak, Jurusan Peternakan Polinela, berupaya untuk mengatasi persoalan tersebut melalui maggot BSF yang dapat mengurangi volume limbah organik hingga 50-60 persen serta menghasilkan protein alternatif dan pupuk organik padat.
Tim juga bekerja sama dengan peternak ayam broiler Karya Mandiri Farm di Lampung Selatan yang selama ini belum memiliki sistem pengolahan limbah feses yang efisien dan ramah lingkungan.
“Program ini bertujuan menerapkan teknologi biokonversi limbah organik menggunakan larva hermetia illucens atau yang dikenal dengan maggot BSF. Maggot BSF terbukti mampu mendegradasi limbah organik, termasuk feses ayam, sekaligus menghasilkan biomassa bernilai ekonomis tinggi,” ujar Melia.
Melalui kegiatan pengabdian ini, tim akan membentuk Model Usaha Peternakan-Maggot Terintegrasi, yang mencakup Standar Operasional Prosedur (SOP), Business Model Canvas (BMC), dan alur kerja integratif antara kandang ayam dan unit budi daya maggot.
“Produk turunan yang direncanakan dari kegiatan ini adalah maggot kering dan pupuk kasgot dikemas dalam bentuk berlabel, lengkap dengan desain merek dan konten promosi digital,” ujarnya.
Menurut dia, branding tersebut penting untuk meningkatkan nilai jual dan daya saing produk di pasaran, sehingga nantinya berdampak langsung pada peningkatan kapasitas mitra, khususnya dalam aspek manajemen usaha.
Selain itu, lanjut dia, mitra juga akan dibekali pengetahuan tentang perencanaan usaha sirkular dengan kemampuan penyusunan tentang rencana pengembangan bisnis yang berkelanjutan.
“Pendekatan ini sejalan dengan tujuan SDGs, khususnya tentang konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, serta penanganan perubahan iklim. Program ini juga turut menyokong target Net Zero Emission Nasional melalui kontribusi dalam penurunan emisi dari limbah organik,” ujarnya.
Melia memastikan kegiatan ini menunjukkan bahwa inovasi sederhana, jika didukung oleh pendekatan kolaboratif dan berbasis ilmu pengetahuan, mampu menggerakkan perubahan nyata di tingkat komunitas (peternak).
Ke depannya, model kegiatan ini diharapkan dapat direplikasi di wilayah lain dengan karakteristik serupa, sekaligus terus dikembangkan untuk menciptakan ekosistem peternakan yang bersih, efisien, dan bernilai ekonomi tinggi.
“Inovasi ini adalah bukti bahwa langkah kecil yang dilakukan secara konsisten dan ilmiah bisa menjadi kontribusi besar dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.
Menurut rencana, tim yang juga beranggotakan Dr Ir Heni Suryani, drh Hani Haya Nazaha, Vindo Rossy Pertiwi dan Muhammad Rayza Aldito akan melaksanakan kegiatan pelatihan teknis ini hingga Desember 2025.